Utang Luar Negeri
Indonesia
Sejarah
Utang Luar Negeri Indonesia
Utang Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda
Pemerintah
kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berutang bagi pemerintahan di
Indonesia. Seluruh utang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai
dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan
kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung
jawab segala utang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif utang piutang,
maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari
pemerintahan sebelumnya.
Tradisi
pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini,
terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun.
Pemerintahan era Soekarno mewariskan utang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1
miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto
membebani Habibie dengan warisan utang sebesar USD 60 miliar. Bahkan,
pemerintahan Habibie mewariskan utang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu
dua tahun. ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar.
Namun, utang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika
dikonversikan), sehingga utang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar
USD 135 miliar.
Tentu
tidak adil jika hanya melihat angka utang yang fantastis di era Habibie secara
begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi utang beserta akibat
lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan
Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era
Soeharto.
Utang Pemerintah Orde Lama
Sesuai
dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik
Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula warisan utang pemerintah
kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar Amerika. Utang tersebut memang
tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan Soekarno, namun juga tidak dinyatakan dihapuskan.
Utang ini nantinya diwariskan kepada era-era pemerintahan berikutnya, dan
akhirnya dilunasi juga.
Pada
awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta terhadap utang luar negeri
bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri
sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan. Negara baru yang baru merdeka ini
memerlukan dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah
sedemikian terpuruk karena kolonialisme. Ketiadaan infrastruktur, dan rusaknya
sebagian besar kapasitas produksi seperti ladang minyak, membuat penerimaan
negara dari sumber domestik belum bisa diandalkan. Hibah dari negara-negara
yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tentu saja tidak memadai dan lambat
laun di¬hentikan. Pilihan yang tersedia adalah mempersilakan modal asing masuk
ke Indonesia untuk berinvestasi, serta melakukan pinjaman luar negeri.
Di
sisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada ter¬hadap kemungkinan
penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat
kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang
berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika
parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda.
Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan berutang
kepada pihak luar negeri. Ini berlaku juga ter¬hadap masalah penanaman modal
asing, termasuk perundingan mengenai tambang dan kilang minyak di wilayah
Indonesia.
Sebagai
contoh, Hatta dalam berbagai kesempatan me¬ngemukakan antara lain: negara
kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, suku bunga tidak
boleh lebih dari 3-3,5 persen per tahun, dan jangka waktu utang yang lama.
Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka
dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang.
Terkenal pula pernyataan sarkastis Soekarno, yang mengatakan ”go to hell with
your aid” kepada AS karna berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.
Bagaimanapun,
transaksi utang luar negeri tetap terjadi pada awal kemerdekaan. Sampai dengan
tahun 1950, utang pemerintah yang baru tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain
utang warisan pemerintah kolonial. Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah utang
pemerintah, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap
pihak asing dalam soal modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada
bantuan dan utang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah
itu dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai
pribadi.
Sebagai
contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan
proposal bantuan finansial dan kerjasama, dan pada tahun 1963 utang sebesar
USD17 juta diberikan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pun kemudian
bersedia melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan
proposal IMF. Namun, keadaan berbalik pada akhir tahun itu juga, ketika
Malaysia pemerintah Inggris menyatakan Malaysia di¬nyatakan sebagai bagian
federasi Inggris tanpa pembicaraan dengan Soekarno. Hal ini sebetulnya juga
berkaitan dengan nasionalisasi beberapa perusahaan Inggris di Indonesia. Yang
jelas, hubungan Indonesia dengan IMF dan Amerika, turut memburuk. Berbagai
kesepakatan sebelumnya dibatalkan oleh Soekarno, dan Indonesia keluar dari
keanggotaan IMF dan PBB.
Secara
teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi
primer Indonesia. Ada pula penghapusan se¬bagian utang oleh kreditur, terutama
dari negara-negara yang ber¬sahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu.
Akhirnya, ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, tercatat utang
luar negeri pemerintah adalah sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk
utang warisan pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak
pernah dibayar oleh pemerintahan Soekarno.
Perkembangan Utang Pemerintah Era
Soeharto
Sejak
awal, sikap pemerintahan Soeharto terhadap modal asing berbeda dengan sikap
Soekarno-Hatta. Sebagai contoh, undang¬undang pertama yang ditandatangani
Soeharto adalah UU no.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang isinya
bersifat terbuka dan bersahabat bagi masuknya modal dari negara manapun.
Beberapa bulan sebelumnya, IMF membuat studi tentang program stabilitas
ekonomi, yang rekomendasinya segera diikuti oleh pemerintah. Indonesia juga telah
secara resmi kembali menjadi anggota IMF.
Seiring
dengan itu, perundingan serius mengenai utang luar negeri Indonesia berlangsung
lancar. Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, seketika
diimbali oleh negara-negara barat berupa: pemberian hibah, restrukturisasi
utang lama, komitmen utang baru dan pencairan utang baru yang cepat. Hibah
sebesar USD 174 juta dikatakan bertujuan untuk mengangkat Indonesia dari
keterpurukan ekonomi. Restrukturisasi utang yang disetuji bernilai sekitar USD
534 juta. Lewat berbagai perundingan, terutama pertemuan Paris Club, disepakati
moratorium utang sampai dengan tahun 1971 untuk pembayaran cicilan pokok
sebagian besar utang. Akhirnya, sejak tahun 1967 Indonesia mendapat persetujuan
utang baru dari banyak kreditur, dan sebagiannya langsung dicairkan pada tahun
itu juga.
ULN dengan Persyaratan Lunak
Pada
mulanya, semua utang baru itu bisa dikatakan sebagai pinjaman dengan syarat
lunak. Ada jenis pinjaman yang biasa disebut bantuan program, yang terdiri dari
bantuan devisa kredit dan bantu¬an pangan. Bantuan program ini berbentuk devisa
tunai atau hak untuk memperoleh sejumlah komoditi yang ditentukan. Ada bantu¬an
proyek, yang pada dasarnya adalah utang bagi pembagunan proyek tertentu dengan
syarat-syarat pelunasan yang lunak. Bahkan, ada dana berbentuk sumbangan
(grant) atau hibah yang berfungsi sebagai ”dana pendamping” dari utangnya.
Para
kreditur yang memberi utang kepada Indonesia awalnya hanya terdiri dari
negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan iternasional. Para kreditur tersebut
mengkoordinasikan diri ke dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI).
Beberapa tahun kemudian, kreditur swasta turut terlibat. Sebagian kreditur
swasta yang besar kadang diundang dalam forum-forum IGGI.
IGGI
didirikan pada tahun 1967 di Den Haag, yang anggotanya terdiri dari: Australia,
Amerika Serikat, Belgia, Belanda, Italia, Jerman, Jepang, Inggris, Perancis,
dan Kanada. Ada negara-negara yang hadir sebagai peninjau, seperti: Austria,
Denmark, Norwegia, Selandia Baru, dan Swiss. Sedangkan lembaga-lembaga keuangan
multilateral yang menjadi anggota forum adalah: IMF, IBRD, ADB, UNDP, dengan
OECD sebagai peninjau. Pada tanggal 25 Maret 1992, dipicu oleh suatu insiden
politik, IGGI dibubarkan dan kepemimpinan Belanda tidak diakui lagi oleh
Indonesia. Namun, fungsi IGGI tetap berlangsung melalui wadah baru bernama
Consultative Group for Indonesia (CGI), dengan pimpinan Bank Dunia. Selama
perkembangannya, ada beberapa lembaga internasional, termasuk bentukan Bank
Dunia, yang kemudian bergabung, seperti IDA, IFAD (International Fund for
Agricultural Development) dan IFC (International Finance Corporation). Terjadi
pula beberapa pergeseran besaran kontribusi masing-masing negara.
Resminya,
IGGI/CGI hanyalah suatu forum pembicaraan me¬ngenai ULN pemerintah Indonesia.
Namun, pada praktiknya IGGI/CGI menyerupai konsorsium. Sebagian besar ULN
pemerintah pada era pemerintahan Soeharto dibicarakan dan disepakati dalam
forum IGGI/CGI. Setiap tahun, forum ini memutuskan jumlah dan macam pinjaman
yang akan diberikan, setelah mempertimbangkan “usulan” dari pemerintah
Indonesia. Dalam artian tertentu, IGGI/CGI memang bukan konsorsium, karena
masing-masing kreditur me¬miliki kesepakatan tersendiri tentang detilnya, dan
tidak seluruh hasil forum bersifat mengikat kepada mereka.
Pada
saat pemerintahan Soeharto mulai menerima ULN dan satu dekade setelahnya,
perkembangan wacana keuangan internasional memang sedang kondusif. Selain yang
dinyatakan sebagai dimensi kemanusiaan atau charity, serta keterkaitan dengan
masalah pe-rebutan pengaruh politik Blok Barat dan Blok Komunis, konsep dan
praktik keuangan internasional memang tengah marak me¬ngembangkan berbagai
bentuk ULN. Ada dua pemicu utama dari sisi wacana keuangan dan perekonomian.
Pertama, upaya banyak negara maju untuk merestukturisasi sekaligus
mengembangkan industri pengolahannya, yang berlangsung mulai era 1960-an. Ada
pertimbangan suplai sumber energi, bahan baku, pemindahan se¬bagian tahap
produksi, sampai kepada penetrasi pasar.
Kedua,
mulai ada kelebihan likuiditas pada lembaga keuangan internasional, yang
kemudian mendapat momentum lanjutan dari petro dollar akibat kenaikan harga
minyak sejak awal 70-an. Selain disimpan pada bank dan lembaga keuangan
komersial, dana petro dollar dari negara-negara produsen minyak ini juga bisa
diakses oleh IMF.
Perkembangan
wacana dan kondisi keuangan internasional itu kemudian antara lain menghasilkan
ULN yang diterima pemerintah negara-negara sedang berkembang (NSB), termasuk
Indonesia. Secara umum, jenisnya terdiri dari: dana pembangunan resmi (official
development fund/ODF), kredit ekspor (export credit) dan pinjaman swasta
(private flows). ODF adalah pinjaman resmi bersyarat lunak dari suatu negara
donor melalui lembaga keuangan bilateral negara yang bersangkutan dan atau
melalui lembaga dan bank pembangunan multilateral seperti: Bank Dunia, ADB,
IDA, dan sebagainya. ODF dapat berupa pinjaman bersyarat sangat lunak (Official
development assistance/ODA) atau pinjaman setengah lunak (less concessional
loan/LCL).
Kredit
ekspor adalah pinjaman setengah resmi dengan per¬syaratan setengah lunak yang
dananya berasal dari negara donor (disebut official financial support) atau
yang bersumber dari pihak perbankan dan lembaga keuangan swasta yang dijamin
dan disubsidi oleh pemerintah negara donor. Penggunaan kredit ekspor itu
kadang-kadang terbatas hanya untuk pengadaan barang dan jasa di negara donor
(tied), dan kadang tidak mengikat, atau kombinasi antara keduanya. Kredit
ekspor disebut “suppliers credit” kalau pinjaman itu disalurkan melalui pemasok
di negara donor. Pinjaman ini dinamakan “buyers credit” jika diberikan langsung
oleh lembaga kredit ekspor kepada peminjam di negara penerima.
Secara
teknis, dikenal pembedaan jenis ULN dengan sebutan Pinjaman program dan
Pinjaman proyek dalam pencatatan APBN saat ini. Pada masa sebelumnya, ULN
dicatat dalam APBN setiap tahunnya sebagai bantuan program dan bantuan proyek.
Pada tahun¬tahun tertentu, ada yang dicatat sebagai pinjaman setengah
lunak/komersial dan pinjaman tunai. Jenis yang masuk kategori dalam pinjaman
swasta ini hanya pada periode tertentu memiliki arus masuk yang besar.
Sebenarnya,
pembedaan antara pinjaman program dan pinjaman proyek bersifat sumir atau tidak
cukup tegas. Pada dasarnya, kedua jenis itu terdiri dari ODA, LCL dan Kredit
ekspor dalam pengertian yang disinggung di atas. Meskipun demikian, ULN yang
disebut pinjaman program, pada umumnya bersifat lebih lunak dan membantu.
Pembedaan ini memang cukup jelas pada masa awal pemerintahan Soeharto.
Pinjaman
program pada awal Orde baru terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan
pangan. Pinjaman program diorientasikan untuk menyelesaikan masalah jangka
pendek dan mendesak, serta bersifat sangat lunak. Pada masa berikutnya, tingkat
kelunakan men¬jadi kurang jelas. Sifat pinjaman program yang membantu mengatasi
masalah ekonomi dan keuangan pemerintah yang mendesak tetap dipertahankan.
Sifat utamanya adalah memberikan aliran devisa atau kas masuk secara langsung
bagi pemerintah.
Akan
tetapi, dalam beberapa tahun tersebut, pinjaman program terkait dengan
perubahan kebijakan dalam bentuk undang-undang dan peraturan lainnya. Pencairan
utang program selalu dikaitkan dengan capaian dalam perubahan kebijakan yang
berhasil dilakukan pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan pinjaman proyek
terutama adalah utang yang diterima dalam bentuk fasilitas ber¬belanja barang
dan jasa kepada negara/lembaga kreditur dalam bentuk kredit. Bedanya dengan
pinjaman program, pinjaman proyek lebih ditujukan untuk proyek investasi jangka
panjang
Sebagaimana
telah disinggung di atas, sejak tahun 1967 Indonesia telah menerima pinjaman
dengan syarat lunak atau dalam bentuk sumbangan (grant) dari negara-negara dan
lembaga-lembaga ke¬uangan iternasional yang tergabung dalam IGGI. Dalam
beberapa tahun sejak itu, Indonesia mendapat pinjaman berbentuk bantuan program
yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan, serta bantuan
proyek dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak.
Utang Pemerintahan Transisi (Habibie)
a) Tanggal 14 dan 15 Mei 1997, kurs bath
terhadap US$ mengalami penurunan (depresiasi) sebagai akibat dari keputusan
jual dari para investor yang tidak percaya lagi thd prospek ekonomi Thailand
dalam jk pdk.
Pemerintah
Thailand mengintervensi dan didukung oleh bank sentral singapora, tapi tidak
mampu menstabilkan kurs Bath, sehingga bank sentral Thailand mengumumkan kurs
bath diserahkan pada mekanisme pasar.
2
Juli 1997, penurunan nilai kurs bath terhadap US$ antara 15% - 20%
b) Bulan Juli 1997, krisis melanda
Indonesia (kurs dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650.) BI mengintervensi, namun tidak
mampu sampai bulan maret 1998 kurs melemah sampai Rp 10.550 dan bahkan menembus
angka Rp 11.000/US$.
Langkah
konkrit untuk mengatasi krisis:
a) Penundaan proyek Rp 39 trilyun untuk
mengimbangi keterbatasan anggaran Negara
b) BI melakukan intervensi ke bursa valas
c) Meminta bantuan IMF dengan memperoleh
paket bantuan keuangan US$ 23 Milyar pada bulan Nopember 1997.
d) Mencabut ijin usaha 16 bank swasta yang
tidak sehat
Januari
1998 pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepakatan (LOI) dengan IMF yang
mencakup 50 butir kebijakan yang mencakup:
a) Kebijakan ekonomi makro (fiscal dan
moneter) mencakup: penggunaan prinsip anggaran berimbang; pengurangan
pengeluaran pemerintah seperti pengurangan subsidi BBM dan listrik; pembatalan
proyek besar; dan peningkatan pendapatan pemerintah dengan mencabut semua
fasilitas perpajakan, penangguhan PPN, pengenaan pajak tambahan terhadap bensin,
memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek pajak.
b) Restrukturisasi sektor keuangan
c) Reformasi struktural
Bantuan
gagal diberikan, karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan kesepakatan
dengan IMF yang telah ditandatangani.
Indonesia
tidak mempunyai pilihan kecuali harus bekerja sama dengan IMF. Kesepakatan baru
dicapai bulan April 1998 dengan nama “Memorandum Tambahan mengenai
Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan” yang merupakan kelanjutan, pelengkapan dan
modifikasi 50 butir kesepakatan.
Tambahan dalam kesepakatan baru ini mencakup:
a) Program stabilisasi perbankan untuk
stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi
b) Restrukturisasi perbankan untuk
penyehatan system perbankan nasional
c) Reformasi structural
d) Penyelesaian utang luar negeri dari
pihak swasta
e) Bantuan untuk masyarakat ekonomi
lemah.
Utang Pemerintahan Reformasi
(Abdurrahman Wahid)
Mulai
pertengahan tahun 1999.
Target:
a) Memulihkan perekonomian nasional sesuai
dengan harapan masyarakat dan investor
b) Menuntaskan masalah KKN
c) Menegakkan supremasi hukum
d) Penegakkan hak asasi manusia
e) Pengurangan peranan ABRI dalam politik
f) Memperkuat NKRI (Penyelesaian
disintegrasi bangsa)
Kondisi:
a) Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi
positif (mendekati 0)
b) Tahun 2000 pertumbuhan ekonomi 5%
c) Kondisi moneter stabil ( inflasi dan
suku bunga rendah)
d) Tahun 2001, pelaku bisnis dan
masyarakat kurang percaya kepada pemerintahan sebagai akibat dari pernyataan
presiden yang controversial, KKN, dictator, dan perseteruan dengan DPR
e) Bulan maret 2000, cadangan devisa
menurun dari US$ 29 milyar menjadi US$ 28,875 milyar
f) Hubungan dengan IMF menjadi tidak baik sebagai
akibat dari: penundaan pelaksanaan amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank
Indonesia; penerapan otonomi daerah (terutama kebebasan untuk hutang pemerintah
daerah dari LN); dan revisi APBN 2001.
g) Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi
cenderung negative, IHSG merosot lebih dari 300 poin, dan nilai tukar rupiah
melemah dari Rp 7000 menjadi Rp 10.000 per US$.
Utang Pada Masa kepemimpinan Megawati
Soekarnoputri
Masalah-masalah
yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
a. Meminta penundaan pembayaran utang
sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan
pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi
adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Utang Pada Masa Kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono
Kebijakan
kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau
dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh
naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial.
Kebijakan
yang ditempuh untuk faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini
mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi
undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat
kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector
riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu
sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain
pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.
Utang
Pada Masa Kepemimpinan Jokowi
Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN)
Indonesia pada akhir kuartal I-2016 sebesar USD316,0 miliar atau Rp4.205,96
triliun (Rp13.310 per USD), naik 5,7 persen secara year on year (yoy). Namun,
peningkatan ini diklaim relatif stabil dibandingkan dengan pertumbuhan ULN pada
akhir kuartal IV 2015.
Seperti dikutip dari laman BI.go.id, Jakarta, Selasa
(17/5/2016), berdasarkan jangka waktu asal, ULN jangka panjang tercatat
meningkat, sementara ULN jangka pendek menurun. Berdasarkan kelompok peminjam,
ULN sektor publik tercatat meningkat, sementara ULN sektor swasta menurun.
Dengan perkembangan tersebut, rasio ULN terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal I-2016 tercatat sebesar 36,5
persen, sedikit meningkat dari 36,0 persen pada akhir kuartal IV-2015.
Berdasarkan jangka waktu asal, posisi ULN Indonesia
didominasi oleh ULN jangka panjang. ULN berjangka panjang pada akhir kuartal
I-2016 mencapai USD277,9 miliar (87,9 persen dari total ULN) atau naik 7,9
persen (yoy), lebih lambat dari pertumbuhan kuartal IV-2015 yang sebesar 9,2
persen (yoy).
Di sisi lain, ULN berjangka pendek pada akhir kuartal
I-2016 tercatat sebesar USD38,1 miliar atau turun 8,4 persen (yoy), lebih
lambat dibandingkan dengan penurunan pertumbuhan kuartal IV-2015 yang sebesar
13,7 persen (yoy).
Dengan perkembangan tersebut, kemampuan cadangan
devisa untuk menutupi kewajiban jangka pendek membaik, tercermin pada rasio
utang jangka pendek terhadap cadangan devisa yang turun dari 36,7 persen pada
kuartal IV-2015 menjadi 35,5 persen pada kuartal I-2016.
Berdasarkan kelompok peminjam, posisi ULN Indonesia
didominasi oleh ULN sektor swasta. Pada akhir kuartal I-2016, posisi ULN sektor
publik sebesar USD151,3 miliar (47,9 persen dari total ULN), sementara ULN
sektor swasta mencapai USD164,7 miliar (52,1 persen dari total ULN).
ULN sektor publik meningkat menjadi 14,0 persen (yoy)
pada kuartal I-2016 dari kuartalan sebelumnya mencapai 10,0 persen (yoy),
sementara ULN sektor swasta turun 1,0 persen (yoy) setelah pada kuartal sebelumnya
tumbuh 2,3 persen (yoy).
Pada sektor swasta, posisi ULN pada akhir kuartal
I-2016 terutama terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan,
pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih. Pangsa ULN keempat sektor
tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,1 persen.
Bila dibandingkan dengan kuartal IV-2015, pertumbuhan
tahunan ULN sektor keuangan dan pertambangan tercatat melambat sementara
pertumbuhan tahunan ULN sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas
& air bersih mengalami peningkatan.
Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada kuartal
I-2016 masih cukup sehat, namun perlu terus diwaspadai risikonya terhadap
perekonomian nasional. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan
ULN, khususnya ULN sektor swasta. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan
pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makro ekonomi.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar